Kamis, 10 Desember 2009

SEJARAH SASTRA INDONESIA

PERIODISASI KESUSASTRAAN INDONESIA

Pemetaan Beragam tentang Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia selama ini telah dipetakan sangat beragam oleh ahli sastra Indonesia. HB. Jassin, misalnya, membagi periodisasi sastra menjadi dua, yakni (a) Sastra Melayu Lama, dan (b) Sastra Indonesia Modern, yang meliputi (1) Angkatan 20, (2) Angkatan 33 atau Pujangga Baru; dan (3) Angkatan 45. Sementara itu Boejoeng Saleh membagi periodisasi sejarah sastra Indonesia menjadi 4: (1.) Sebelum tahun 20-an, (2). Antara tahun 1920 - 1933; (3). 1933 - Mei 1942, dan (4). Mei 1942 hingga kini (1956).
Sedangkan Nugroho Notosusanto membagi PSI menjadi 2: (a) Sastra Melayu Lama, (b) Sastra Indonesia Modern. Sastra modern ini dibagi menjadi 2: (1) masa Kebangkitan (1920-1945): yang dibagi lagi menjadi: periode 1920, Periode 1933, dan Periode 1942 dan (2) Masa Perkembangan (1945-sampai tahun 60-an), yang meliputi: periode "45 dan periode "50. lain lagi dengan Bakri Siregar. Dia membagi periodisasi sejarah sastra Indonesia menjadi 4 yaitu (1) Periode Pertama sejak masa abad 20 sampai 1942, (2) Periode Kedua 1942-1945, (3) Periode Ketiga 1945-1950, dan (3) Periode Keempat 1950 – skrg (1964). Ajip Rosidi membagi periosisasi sejarah Indonesia menjadi 2 kelopok besar, yaitu (1) Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (1900-1945), yang meliputi (a). Periode awal 1933; (b). Periode 1933-1942, dan (c). Periode 1942-1945, dan (2) Masa Perkembangan (1945-1969), yang meliputi (a) Periode 1945-1953, (b) Periode 1953-1961, dan (c). Periode 1961-1969. Sedangkan A. Teeuw, menunjuk angkatan tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Menurut Teeuw para pemuda saat itu untuk pertama kalinya menyatakan perasaan dan ide yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua. Sementara Ajip Rosidi menunjuk tahun tersebut karena pada saat itu para pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan. Karya Sastra Pujangga Lama
• Sejarah Melayu
• Hikayat Abdullah – Hikayat Andaken Penurat – Hikayat Bayan Budiman – Hikayat Djahidin – Hikayat Hang Tuah – Hikayat Kadirun – Hikayat Kalila dan Damina – Hikayat Masydulhak – Hikayat Pandja Tanderan – Hikayat Putri Djohar Manikam – Hikayat Tjendera Hasan – - Tsahibul Hikayat
• Syair Bidasari – Syair Ken Tambuhan – Syair Raja Mambang Jauhari – Syair Raja Siak
• dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lain
Sastra Melayu LamaKarya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 – 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah sumatera lainnyaâ€�, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.Karya Sastra “Melayu Lamaâ€�
• Robinson Crusoe (terjemahan)
• Lawan-lawan Merah
• Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
• Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
• Kapten Flamberger (terjemahan)
• Rocambole (terjemahan)
• Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
• Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
• Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
• Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
• Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya
• Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)
• Cerita Nyi Paina
• Cerita Nyai Sarikem
• Cerita Nyonya Kong Hong Nio
• Nona Leonie
• Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
• Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
• Cerita Rossina
• Nyai Isah oleh F. Wiggers
• Drama Raden Bei Surioretno
• Syair Java Bank Dirampok
• Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
• Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
• Tambahsia
• Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
• Nyai Permana
• Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
• dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya
Angkatan Balai PustakaKarya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
• Merari Siregar
o Azab dan Sengsara: kisah kehidoepan seorang gadis (1921)
o Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
o Tjinta dan Hawa Nafsu
• Marah Roesli
o Siti Nurbaya
o La Hami
o Anak dan Kemenakan
• Nur Sutan Iskandar
o Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
o Hulubalang Raja (1961)
o Karena Mentua (1978)
o Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
• Abdul Muis
o Pertemuan Djodoh (1964)
o Salah Asuhan
o Surapati (1950)
• Tulis Sutan Sati
o Sengsara Membawa Nikmat (1928)
o Tak Disangka
o Tak Membalas Guna
o Memutuskan Pertalian (1978)
• Aman Datuk Madjoindo
o Menebus Dosa (1964)
o Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
o Sampaikan Salamku Kepadanya
• Suman Hs.
o Kasih Tak Terlarai (1961)
o Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o Pertjobaan Setia (1940)
• Adinegoro
o Darah Muda
o Asmara Jaya
• Sutan Takdir Alisjahbana
o Tak Putus Dirundung Malang
o Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
o Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
• Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
o Tuan Direktur (1950)
o Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
• Anak Agung Pandji Tisna
o Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)
o Sukreni Gadis Bali (1965)
o I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)
• Said Daeng Muntu
o Pembalasan
o Karena Kerendahan Boedi (1941)
• Marius Ramis Dayoh
o Pahlawan Minahasa (1957)
o Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Bali Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.Pujangga BaruPujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi sastra modern Indonesia.Pada masa itu, terbit pula majalah Poedjangga Baroe yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok Seni untuk Seni yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok Seni untuk Pembangunan Masyarakat yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
• Sutan Takdir Alisjahbana
o Layar Terkembang (1948)
o Tebaran Mega (1963)
• Armijn Pane
o Belenggu (1954)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
o Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
o Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
• Tengku Amir Hamzah
o Nyanyi Sunyi (1954)
o Buah Rindu (1950)
o Setanggi Timur (1939)
• Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1971)
o Madah Kelana (1931/1978)
o Sandhyakala ning Majapahit (1971)
o Kertadjaja (1971)
• Muhammad Yamin
o Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928)
o Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
o Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
o Tanah Air
• Roestam Effendi
o Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)
o Pertjikan Permenungan (1953)
• Selasih
o Kalau Tak Oentoeng (1933)
o Pengaruh Keadaan (1957)
• J.E.Tatengkeng
o Rindoe Dendam (1934)
Angkatan '45Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik – idealistik.Penulis dan karya sastra Angkatan '45
• Chairil Anwar
o Kerikil Tadjam (1949)
o Deru Tjampur Debu (1949)
• Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar
o Tiga Menguak Takdir (1950)
• Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan
• Pramoedya Ananta Toer
o Bukan Pasar Malam (1951)
o Ditepi Kali Bekasi (1951)
o Gadis Pantai
o Keluarga Gerilja (1951)
o Mereka jang Dilumpuhkan (1951)
o Perburuan (1950)
o Tjerita dari Blora (1963)
• Mochtar Lubis
o Tidak Ada Esok (1982)
o Djalan Tak Ada Udjung (1958)
o Si Djamal (1964)
o Harimau-Harimau! (1977)
• Achdiat K. Mihardja
o Atheis – 1958
• Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)
o Terjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, Saudagar Venezia, dll.
• M.Balfas
o Lingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978)
• Utuy Tatang Sontani
o Suling (1948)
o Tambera (1952)
o Awal dan Mira – drama satu babak (1962)
Angkatan 50-anAngkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-anNh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
• Ajip Rosidi
o Cari Muatan
o Ditengah Keluarga (1956)
o Pertemuan Kembali (1960
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua
o Tahun-tahun Kematian (1955)
• Ali Akbar Navis
o Bianglala: kumpulan tjerita pendek (1963)
o Hudjan Panas (1963)
o Robohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950)
• Bokor Hutasuhut
o Datang Malam (1963)
• Enday Rasidin
o Surat Cinta
• Nh. Dini
o Dua Dunia (1950)
o Hati jang Damai (1960)
• Nugroho Notosusanto
o Hujan Kepagian (1958)
o Rasa Sajangé (1961)
o Tiga Kota (1959)
• Ramadhan K.H
o Api dan Si Rangka
o Priangan si Djelita (1956)
• Sitor Situmorang
o Dalam Sadjak (1950)
o Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
o Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
o Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
o Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
• Subagio Sastrowardojo
o Simphoni (1957)
• Titis Basino
o Pelabuhan Hati (1978)
o Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen) (1963)
o Lesbian (1976)
o Bukan Rumahku (1976)
o Pelabuhan Hati (1978)
o Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983)
o Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998)
o Aku Supiah Istri Wardian (1998)
o Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998)
o Terjalnya Gunung Batu (1998)
o Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998)
o Rumah Kaki Seribu (1998)
o Tangan-Tangan Kehidupan (1999)
o Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999)
o Mawar Hitam Milik Laras (1999)
• Toto Sudarto Bachtiar
o Suara : kumpulan sadjak 1950-1955 (1962)
o Etsa, sadjak-sadjak (1958)
• Trisnojuwono
o Angin Laut (1958)
o Dimedan Perang (1962)
o Laki-laki dan Mesiu (1951)
• W.S. Rendra
o Balada Orang-Orang Tertjinta (1957)
o Empat Kumpulan Sajak (1961)
o Ia Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita pendek lainnja (1963)
• dan banyak lagi karya sastra lainnya
Angkatan 66-70-anAngkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman; ia lahir mendahului jamannya.Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.Karya Sastra Angkatan ˜66
• Sutardji Calzoum Bachri

o Amuk
o Kapak
• Abdul Hadi WM
o Laut Belum Pasang (kumpulan puisi)
o Meditasi (kumpulan puisi)
o Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (kumpulan puisi)
o Tergantung Pada Angin (kumpulan puisi)
o Anak Laut Anak Angin (kumpulan puisi)
• Sapardi Djoko Damono
o Dukamu Abadi (kumpulan puisi)
o Mata Pisau dan Akuarium (kumpulan puisi)
o Perahu Kertas (kumpulan puisi)
o Sihir Hujan (kumpulan puisi)
o Hujan Bulan Juni (kumpulan puisi)
o Arloji (kumpulan puisi)
o Ayat-ayat Api (kumpulan puisi)
• Goenawan Mohamad
o Interlude
o Parikesit
o Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (kumpulan esai)
o Asmaradana
o Misalkan Kita di Sarajevo
• Umar Kayam
o Seribu Kunang-kunang di Manhattan
o Sri Sumarah dan Bawuk (kumpulan cerita pendek)
o Lebaran di Karet, di Karet – (kumpulan cerita pendek)
o Pada Suatu Saat di Bandar Sangging -
o Kelir Tanpa Batas
o Para Priyayi
o Jalan Menikung
• Danarto
o Godlob
o Adam Makrifat
o Berhala
• Putu Wijaya
o Telegram
o Stasiun
o Pabrik
o Gres - Putu Wijaya
o Bom
o Aduh (drama)
o Edan (drama)
o Dag Dig Dug (drama)
• Iwan Simatupang
o Ziarah
o Kering
o Merahnya Merah
o Koong
o RT Nol / RW Nol (drama)
o Tegak Lurus Dengan Langit
• Arifin C. Noer
o Tengul (drama)
o Sumur Tanpa Dasar (drama)
o Kapai Kapai (drama)
• Djamil Suherman
o Sarip Tambak-Oso
o Umi Kulsum (kumpulan cerita pendek)
o Perjalanan ke Akhirat
o Sakerah
dan masih banyak lagi yang lainnya.Dasawarsa 80-anKarya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.Beberapa sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie alm, Micky HIdayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani alm, dan Tajuddin Noor Ganie.Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-anAntara lain adalah:
• Badai Pasti Berlalu – Cintaku di Kampus Biru – Sajak Sikat Gigi – Arjuna Mencari Cinta – Manusia Kamar – Karmila
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih.Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000.Sastrawan Angkatan Reformasi (2000)Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.Sastrawan Angkatan 2000-anSetelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki ‘juru bicara’, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany.Novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.
• Abidah el Khalieqy
• Afrizal Malna
• Ahmad Nurullah
• Ahmad Syubanuddin Alwy
• Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan 2000, tapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980-an.
• Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, lanjutan dari cerita Saman.
• Dorothea Rosa Herliany
• Seno Gumira Ajidarma
• Fathur ER
dari berbagai sumber
2 responses so far

Sabtu, 05 Desember 2009

ETNOGRAFI

ETNOGRAFI KOMUNIKASI DAN REGISTER

1. Pendahuluan
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain : status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa. Faktor-faktor situasional seperti itu sejalan dengan rumusan Fishman : Who speaks what language to whom and when (dalam Pride and Holmes, 1979:15; Suwito, 1985: 3). Dengan demikian, setiap bentuk bahasa yang dipengaruhi oleh berbagai kontek dengan masyarakat pemakaiannya merupakan tulisan sosiolinguistik.
Telah banyak diterbitkan reverensi yang mengkaji tentang pemakaian bahasa, termasuk juga teori-teori tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat. Di dalam buku J. B. Pride dan Holmes (ed.) yang berjudul Sociolinguistics (1979), misalnya, ditemukan tulisan J.A. Fishman berjudul “The Relationship between Micro and Macro-Sociolinguistics to the Study of Who Speaks What Language To Whom and When” (1971). Di dalam tulisan itu diuraikan masalah tuturan. Dikatakannya bahwa pada tiap-tiap tuturan terdapat beberapa unsur yang mengambil peranan, antara lain : penutur, pendengar, pokok pembicaraan, tempat berlangsungnya pembicaraan, waktu, suasana, yang harus selalu dipertimbangkan oleh setiap penutur. Teori di atas diperjelas lagi oleh Hymes dalam tulisan yang berjudul “Models of Interaction of Language and Social Life” (di dalam T. Bell, Sociolinguistics: Goals, Approaches and Problems (1976) yang membicarakan adanya delapan faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur. Kedelapan faktor itu diistilahkan dengan komponen tutur yang diringkas dalam akronim SPEAKING (setting and scene, participants, ends, key, instrumentalities, norms, and genres).
Makalah ini akan mencoba menjelaskan ihwal etnografi komunikasi dan register. Pembahasan ini akan berfokus pada beberapa konsep inti keduanya.

2. Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking). Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu. Karena sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography o fcommunication, karena istilah ini dianggap lebih tepat.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu. sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang megkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik, dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar i1mu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur”(1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana penutur menggunakan struktur tersebut.

2.1. Konsep Etnografi Komunikasi dan Cakupan Kajiannya
Menurut Hymes(1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Menurut Hymes, linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik. Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhir yang didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu disebut etnografi komunikasi, yaitu kajian tentang “etnografi wicara”. Untuk memahami kajian ini, Hymes menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir. Tekanan itu harus diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4) ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, (6) komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman- (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara semuanya itu selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.

2.2 Konsep-konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi

2.2.1 Tata cara bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap, di lain pihak.
Tata cara bertutur itu berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, bahkan yang paling mendasar sekali pun. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih Amerika dari kelas menengah terdapat kaidah “tanpa kesenjangan, tanpa tumpang tindih” dalam giliran bertutur (turn-taking). Jika dua orang atau lebih terlibat dalam perpercakapan dan jika dua orang mulai berbicara dalam waktu yang sama (tanpa disengaja), dengan cepat yang satu memberi kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sebaliknya, jika terjadi kemacetan beberapa detik saja, para partisipan menjadi begitu merasa “tidak enak”, kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak penting sekadar untuk mengisi “kesenjangan” atau kelompok partisipan itu segera bubar.
Namun menurut penelitian Reisman (1974), penduduk desa Antiguan (Swedia) biasa melakukan pembicaraan dengan lebih dari satu orang dengan berbicara sekaligus. Dalam komunitas Lapp di Swedia utara, kesenjangan dianggap sebagai bagian dari kebiasaan dalam perpercakapan. Saville-Troike (1982) mengemukakan, beberapa kelompok Indian Amerika yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil giliran berbicara adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan tradisi di dalam lingkungan keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka, tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya memulai ujarannya, yang benada minta izin dengan mengucapkan “Nuwun sewu,…. ” (minta beribu maaf).
Dengan demikian, tata cara bertutur itu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat yang lain. Masalahnya ialah bagaimana peneliti menentukan kelompok masyarakat itu untuk tujuan pemerian etnografis.

2.2.2 Komunitas tutur
Jelas sekali, tidak semua warga negara menjadi anggota satu komunitas tutur (speech community) saja. Contoh di atas menunjukkan, cara bertutur warga kulit putih kelas menengah berbeda dengan warga dari Indian. Komunitas tutur juga tidak bisa ditentukan karena dipakainya bahasa yang sama. Orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa Inggris tetapi mempunyai tatacara bertutur yang berbeda di tempat “umum”, misalnya restauran. Di Inggris dalam perpercakapan di restauran suara partisipan direndahkan sehingga orang-orang yang tidak terlibat percakapan itu tidak akan bisa mendengar apa yang dicakapkan. Di Amerika percakapan semacam itu dapat didengar oleh seorang peneliti. Karena itu perlu dirumuskan komunitas tutur yang dapat diperikan secara etnografis.
Rumusan itu tidak mudah diperoleh karena banyak definisi tentang komunitas tutur. Hymes berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan kaidah wicara.Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah mengurangi, dan mengganti kaidah perilaku komunikatif Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat tentang komunitas tutur.
Hudson (1980) berpendapat bahwa istilah komunitas tutur mengacu kepada “komunitas yang berdasarkan bahasa”, yang sering dikacaukan dengan istilah komunitas bahasa (linguistic community). Kajian tentang komunitas tutur ini banyak diminati oleh para linguis, setidak-tidaknya sejak Bloomfield menulis dalam buku Language (1933).
Batasan paling sederhana tentang komunitas tutur dikemukakan oleh John Lyons (1970), Speech community is all the people who use a given language (or dialect).” (komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu). Menurut batasan ini, komunitas tutur-komunitas tutur dapat saja bertumpang tindih (jika ada para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan sosial atau kesatuan kultural.jelasnya,mungkin saja peneliti membatasi komunitas tutur jika peneliti dapat membatasi bahasa atau dialek.
2.2.2 Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.3 Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengandengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik, misalnya upacara, pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutr dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Misalnya gurauan yang terjadi dalam suatu percakapan (peristiwa tutur) dan terjadi di dalam suatu pesta (situasi tutur). Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur, misalnya tindak tutur berdoa.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah, namun rumit sebab berkait dengan pragmatik. Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal, dan intonasi.

2.2.4 Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa, dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur, misalnya akan meliputi akronim dari SPEAKING. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis, misalnya situasi formal atau santai
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat. dan audience. (pendengar)
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals)
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci) , yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan, misalnya serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur ( misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, register, dan sebagainya)
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi. Misalnya bagaimana orang Jawa selalu mematuhi sopan santun sebagai norma interaksi, meskipun hanya tuturan fatis
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya puisi, khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya.
2.2.5 Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidah-kaidah tertentu, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur, peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa”orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya. Hal ini sangat masuk akal karena sosiolinguis itu mengkaji hubungan antara gejala atau faktor sosial dengan gejala atau faktor bahasa, dan peneliti dapat memulai kajian dari mana pun. Itulah sebabnya maka Fasold membagi buku sosiolinguistiknya menjadi dua jilid, yaitu The Sociolinguisticts of Society (1984) dan The Sociolinguistics of Language (1990).

3. Contoh Penelitian Etografi di Indonesiia
Untuk memahami lebih jauh tentang etnografi komunikasi berikut ini akan dikemukakan hasil penelitian pakar sosiolinguistik Indonesia, yang dituangkan dalam disertasi mereka, yaitu Dede Oetomo dan Soeseno Kartomihardjo.

3.1 Bahasa dan Identitas: Dede Oetomo
Dede Oetomo (1987) mengkaji kelompok Cina di Pasuruan dengan. melihat tuturan sehari-hari di berbagai peristiwa tutur, misalnya di ruang tunggu praktek dokter gigi, di dalam rumah, di rumah orang yang kematian anggota keluarga, di toko, dan sebagainya. Partisipan dan topik pertuturan juga beragam. Berdasarkan pengamatan terhadap mereka itu Dede sampai kepada simpulan tentang adanya dua kelompok Cina, yakni Cina Totok dan Cina Peranakan. Ini berarti, bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Kajian ini berdasarkan kerangka teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), yang antara lain memusatkan perhatian kepada perabot tutur (means of speaker) yang mencakup informasi mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tatabahasa, adalah “rule governed” (mengandung kaidah). Di dalam memilah-milah kaidah itu tidak boleh memisahkan bahasa dari kebudayaan, melainkan melihat peristiwa tutur sebagai satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai (value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa. Tugas analisis sosiolinguistik adalah menspesifikasikan interrelasi antara kedua variabel iltu dalam peristiwa-peristiwa tutur yang merupakan ciri khas kelompok sosial tertentu.
Kajian Dede juga mengambil karya Labov (1972) tentang pemertahanan ciri-ciri dialek dalam berbagai kelompok penutur bahasa Inggris-Amerika. Sebagaimana banyak dikutip oleh buku-buku sosiolinguistik, kasus Kepulauan Martha Vineyard di AS mengemuka karena kajian Labov. Wilayah itu merupakan wilayah pariwisata, penduduk asli banyak terdesak. Karena banyak pendatang itu, banyak pula ragam bahasa di situ, tetapi ragam “daratan” sangat dominan. Labov menemukan, salah satu ciri pembeda ragam adalah bidang fonologi. Ada kelompok penduduk yang ciri lafalnya memakai sentralisasi bunyi /ay/ dan /aw/, dan kelompok ini temyata penduduk asli kepulauan itu. Mereka tidak mau menyesuaikan diri dengan lafal daratan yang dominan, dan mereka melakukan itu sebagai klaim dan pemertahanan bahwa mereka sebagai penduduk asli. Ini berarti bahasa merupakan penanda identitas kelompok. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa bahasa dan komponennya dapat berfungsi sebagai pemarkah identitas (identity markers) atau pemarkah tutur (speech markers).
Giles (1979) juga berbicara tentang pemarkah etnisitas (ethnicity markers). Di dalam sebuah tuturan dapat dibedakan tiga macam situasi kontak yang berciri etnolinguistik, yakni (1) paradigma pilihan bahasa, (2) paradigma. akomodasi, dan (3) paradigma asimilasi. Paradigma pilihan bahasa terdapat dalam masyarakat aneka etnik yang mengandung banyak etnik, masing-masing kelompok memakai bahasanya masing-masing, seringkali bahasa-bahasa itu tidak saling dimengerti oleh kelompok lain, tetapi semua kelompok itu memakai “bahasa umum” atau salah satu dari bahasa-bahasa tadi. sebagai contoh, Singapura, yang masing-masing etniknya (Cina, Melayu, Tamil) memakai bahasa mereka sendiri tetapi juga memakai bahasa Inggris sebagai “bahasa umum” atau kadang-kadang mencoba memakai bahasa kelompok lain. Kedua paradigma yang lain terjadi dalam masyarakat tempat satu kelompok etnik (biasanya secara ekonomi, sosial, dan politik, menjadi kelompok bawahan) dalam kontak antaretniknya tidak perlu memilih atau harus menerima (mengadopsi) bahasa kelompok lain. Paradigma akomodasi terjadi kalau kelompok bawahan harus menjadi dwibahasawan dari bahasa kelompoknya sendiri plus bahasa keiompok dominan agar mereka ini dapat berfungsi secara efektif di dalam masyarakat yang didominasi oleh kelompok dominan tadi, tetapi mereka juga mempertahankan bahasa kelompoknya sendiri untuk interaksi di dalam kelompok. Sebagai contoh, kelompok Hispanik (Spanyol) di AS.
Dede menemukan identitas etnik, subetnik, dan kelas dalam masyarakat Cina Pasuruhan yang berinterrelasi dengan perilaku dan sikap bahasa. Perbedaan identitas dicerminakan oleh terdapatnya perbedaan reportoar (khasanah) bahasa atau perbedaan fungsi yang dibebankan pada suatu kode dalam reportoar yang sama, di samping mencerminkan berbagai sikap orang terhadap berbagai kode.
Etnik Cina dipilah atas dua subetnik, yaitu Cina Peranakan dan Cina Totok. Di samping itu juga ada peranakan klas atas dan peranakan klas bawah. Pemarkah utama identitas etnik adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa sopan di dalam masyarakat itu. Di dalam situasi yang menuntut kesopanan dari sudut penutur, dia akan menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun terdapat orang Cina yang berbahasa Jawa Krama, tetapi hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Jawa dan tidak dengan teman sesama Cina.
Pemarkah lain untuk identitas etnik adalah pemakaian bahasa Hokkian atau dialek lain dari Cina oleh Cina angkatan pertma yang lahir di Cina dan anak-anak mereka, atau penggunaan bahasa Mandarin atau Belanda oleh mereka yang berpendidikan cukup. Pemarkah lain adalah penggunaan kata pinjaman dari ketiga bahasa tersebut di dalam berbahasa Jawa atau Indonesia yang mereka pakai. Semua orang Cina memiliki istilah kekerabatan dalam bahasa Hokkian, banyak sekali memakai angka, istilah bagi barang dan konsep-konsep kecinaan lainnya dari bahasa Hokkian.

3.2 Penelitian Etnografi Kode Komunikasi Soeseno Kartomiharjo
Soeseno Kartomihardjo (1981) mengkaji etnografi kode komunikatif di Jawa Timur. Dia berasumsi, variasi tutur merupakan pencerminan dari faktor-faktor sosial dan kultural. Maka, masalah yang diujinya adalah variasi tutur yang tampak dan dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan kultural yang menentukan variasi tutur. Misalnya, bahasa Indonesia (BI) yang dipakai orang Jawa tidak terdidik dimarkahi dengan penggunaan imbuhan bahasa jawa (Bj); Cina peranakan. juga memakai imbuhan Bi tetapi memakai juga kata pinjaman dari bahasa Cina (BC). Ini berarti, etnisitas menentukan kata pinjaman. Para mahasiswa memakai kata sapaan you dan kata-kata pinjaman yang diindonesiakan: pendidikan menjadi faktor penentu pilihan kata. Situasi sosial dan nada bicara juga dicatat Soeseno sebagai faktor signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur di dalam interaksi dan komunikasi mereka. Masih ada beberapa faktor sosial lain yang hendak digarap.
Untuk menangani beberapa masalah itu Soeseno memilih pendekatan sosiolinguistik yang mencakup faktor-faktor sosial dan kultural dalam menganalisis varian-varian tutur da1am komunitas bahasa. Dia menunjukkan, pilihan tutur yang bahasanya diikuti oleh perilaku (tutur) tertentu dikendalai oleh nilai-nilai umum dan faktor-faktor sosial seperti usia, pendidikan, ikatan kekeluargaan, keakraban, etnisitas, dan bagainya, faktor-faktor sosial seperti situasi, pokok pembicaraan, maksud, dan sebagainya. Hanya saja karena Jawa Timur merupakan wilayah dominasi Bj, maka Soeseno menentukan bahwa standar yang membentuk basis umum t,agi semua interaksi sosial adalah standar Bj.
Di dalam penggunaan istilah, Soeseno meminjamnya dari Gumperz dan Hymes (1972) dan Fishman (1972). Istilah varietas (variety) mengacu kepada varietas bahasa (dalam hal ini BI dan Bj) yang berkorelasi dengan etnisitas, pendidikan, daerah, okupasi, dan sebagainya. Misalnya, ada varietas BI peranakan Cina, BI oleh orang Jawa terdidik. Kode (code) mengacu kepada bentuk tutur yang menyarankan adanya kesalingmengertian, solidaritas, kelompok, identitas status atau kedudukan, dan sebagainya. Di Jawa Timur yang menjadi kode umum bagi sebagian besar penduduk adalah bahasa Indonesia yang dijawakan (colloquial javanised Indonesian) yang bervariasi sesuai dengan etnisitas dan pendidikan, sementara bahasa Belanda merupakan kode yang dipakai sebagai identitas dalam kelompok bagi orang-orang berpendidikan lama.
Orang biasanya berkomunikasi dalam suatu situasi sosial yang menurut Fishman (1972) adalah kombinasi latar (waktu dan tempat) dengan hubungan peran antara para partisipan dalam suatu. tindak (komunikasi) tertentu. Suatu situasi padu (kongruen) adalah situasi yang di dalamnya hubungan peran, partisipan, waktu dan tempat berjalan bersama dalam suatu tata cara yang secara kultural berterima (akseptabel). Norma-norma penggunaan bahasa di Jawa Timur secara amat jelas dan seragam direalisasikan dalam situasi-situasi yang kongruen. Pada umumnya, orang di Jawa Timur mengenal dua macam situasi sosial, yaitu situasi resmi dan tak resmi. Situasi tak resmi mencakup sejumlah besar kejadian yang warganya berinteraksi untuk tujuan kemasyarakatan, seperti kunjungan kepada teman, mengobrol dengan kenalan di jalan, percakapan di antara keluarga, dan sebagainya. Situasi yang resmi (official) dibagi menjadi formal dan informal. Dalam situasi formal dan ofisial, seperti pada rapat resmi yang dihadiri personel dari sebuah kantor, pada upacara ritual dalam perkawinan, pada waktu kuliah, dan sebagainya, pilihan kode biasanya jatuh kepada BI disertai pilihan terbatas kata-kata sapaan. Sebaliknya, dalam situasi informal misalnya dalam interaksi di antara teman sekantor, dalam interaksi nonritual dan perkawinan, bagian informal dari kuliah, dan sebagainya, bagi para partisipan lebih banyak pilihan kode dan kata sapaan meskipun tidak sebanyak dalam situasi tidak ofisial, misalnya percakapan di lapangan tenis.
Partisipan dalam komunikasi terdiri dari penutur, lawan tutur, dan pendengar. Di Jawa Timur hadirya pendengar bisa signifikan dalam pilihan kaidah yang kemudian menentukan pilihan varietas. Misalnya hadirya seorang anak sebagai pendengar sering memaksa penutur dewasa dan lawan tutur memakai kata sapaan lain dibandingkan jika tidak ada si anak. Pokok pembicaraan juga sangat signifikan dalam menentukan pilihan kode. Misalnya, dua orang Jawa yang biasa menyapa dan berbicara tentang keluarga dalam Bj segera beralih kode BI-nya orang Jawa yang terdidik jika mereka berbicara tentang tes masuk PT.
Kaidah dan norma untuk penggunaan tutur menguasai peristiwa dan tindak tutur yang terjadi di dalam situasi sosial. Tindak tutur merupakan satuan terkecil yang mungkin masuk; peristiwa tutur mengacu kepada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma untuk penggunaan tutur. Misalnya, lelucon atau kata pengantar adalah tindak tutur, salah satu atau keduanya dapat dimasukkan ke dalam suatu perpercakapan (peristiwa tutur), yang terakhir dapat terjadi dalam konteks tertentu, misalnya pesta ulang tahun (situasi sosial). Satuan lain yang juga menjadi kunci adalah nada, cara atau semangat yang mengandung terjadinya tindakan. Lalu, apa dan bagaimana nilai orang Jawa Timur itu? Soeseno mengemukakan, yang dimaksudkan dengan nilai ialah “things in social life induding ideals, customs, institutions and othersfor which the East Javanese people have an affective regard” (1981:.18), segala sesuatu dalam kehidupan sosial, mencakup cita-cita, adat (kebiasaan), lembaga, dan segala hal yang menyentuh afeksi orang Jawa Timur.

4. Register, Dialek, dan Gaya Bahasa
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan penggunaannya, sedangkan dialek sebagai variasi bahasa berdasarkan penggunanya Di dalam konsep ini register tidak terbatas pada pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam teori tradisional) tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks, dan teksturnya: kohesi dan teksikogramatika, serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistik, maka banyak linguis menyebut register sebagai style atau gaya bahasa. Variasi pilihan bahasa register tergantung pada konteks situasi, yang meliputi 3 variabel: field (meda), tenor (pelibat) dan mode (sarana) yang bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasu makna. Sementara itu variasi bahasa pada dialek berdasarkan letak geografis (misalnya di dalam Bahasa Jawa meliputi daerah Jawa Timuran, pesisiran, Surakartan, Yogyakartan, dan Banyumasan), sastra sosial (misalnya : struktur hirarkis di dalam sistem kekerabatan, struktur hirarkis status sosial, struktur hirarkis profesi). Secara umum Halliday (dalam Halliday dan Hasan, 1985) membedakan register dan dialek sebagai berikut:

Desain Bahasa - 3

DESAIN BAHASA 3


Tepat dua hari yang lalu, ada kawan kita yang minta kepada saya untuk menjelaskan mengenai perencanaan bahasa. Untuk itu dalam artikel kecil ini akan dibahasa mengenai bagaimana hubungan bahasa dan kebijakan yang diambil oleh para ahli linguistik untuk melangsungkan suatu sistem bahasa.

Membicarakan perencanaan bahasa sepeetinya tidak akan lepas dari kebijakan dan pengembangan itu sendiri. Mengapa demikian karena itulah sesungguhnya konsep dari perencanaan bahasa. Bagaimana dengan keadaan perencanaan bahasa di Indonesia sendiri?

Mungkin jika kita sedikit menengok ke belakang tepatnya tanggal 28 oktober lahirlah sumpah pemuda yang yang menjadi pijakan awal bangsa ini untuk menentukan kea rah mana konsep dari perencanaan bahasanya. Mungkin jika sedikit dijabarkan pada waktu itu bangsa kita sudah mempunyai perencanaan bahasa(language planning) . Walaupun memang secara politik bangsa belum merdeka, tetapi untuk mengedepankan aspek kebahasaan bangsa kita sudah memikirkannya jauh-jauh. Yaitu Bahasa Indonesia.

Mengapa sampai diperlukan perencanaan bahasa? Perencanaan bahasa itu sendiri apabila saya jabarkan adalah suatu konsep untuk mementukan kebijakan, penerapan dan pengembangan bahasa dalam suatu Negara tertentu. Ada beberapa factor yang mendasarinya, pertama ditinjau dari segi kebudayaan, bangsa tersebut mememiliki banyak bahasa sehingga perlu memilih bahasa mana yang akan

digunakan, misalkan bangsa kita sendiri.

Kedua, untuk mempertahankan bahasa asli Negara tersebut, agar tidak tergerus oleh bahasa asing yang masuk. Biasanya konsep tersebut diterapkan untuk memperlancar komunikasi baik dalam bidang pemerintahan, maupun kehidupan social lainnya. Oleh karena itu dikenal dengan adanya bahasa Nasiona, Bahasa resmi kenegaraan, dan bahasa Kedaerahaan. Contohnya Negara Somalia yang digolongkan ke dalam bangsa Tipe Eksoglosik.

Ada dua hal yang harus dilakukan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa, antara lain kebijakan bahasa dan perencanaan bahasa. Ini bertujuan agar masalah pemilihan atau penentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi di dalam negara itu tidak menimbulkan gejolak politik yang pada gilirannya akan dapat menggoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut.

Saya tidak akan berlama-lama lagi, berikut konsep dari perencanaan bahasa yang diawali dengan kebijakan bahasa.

A. Kebijakan bahasa

Apakah yang dimaksud kebijakan bahasa itu? Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975 maka kebijakan bahasa itu dapat diartikan sebagai pertimbnagan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengelolaan keseluruhan kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bnagsa secara nasional.

Masalah-masalah kebahasaan yang di hadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung terhadap situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda dan Inggris.

Tetapi negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian bahasa banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk timbulnya gejolak sosial dan polotik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari 400 buah, agak beruntung sebap masalah-masalah kebahasaan yang terjadi di negara lain, secara historis telah agak terselesaikan sejak agak lama.

Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut soempah pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam undang-undang Dasar 1954 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karna itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus.

Tujuan kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi intra bangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan gejolak sosial yang dapat mengganggu stsbilitas bangsa. Oleh karena itu, kebijakan bahasa yang telah di ambil Indonesia dari perkataan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasaatau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan, dan fungsi suatu bahasa, kebijakan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut sebagai korpus bahasa.

B. Perencanaan bahasa

Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka perencanaan bahasamerupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelumnya perlu juga diketahui bahwa ada pula pakar yang memasukkan kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu tahap dalam perencanaan bahasa (Neustupni 1970, Gorman 1973, dan Garvin 1973).

Istilah perencanaan bahasa (language planning) mula-mula digunakan oleh haugen (1959) pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang di inginkan oleh para perencana. Menurut hougen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah.

Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planning ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh hougen(moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada komisi bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah pembina bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van op huijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia).

Sesudah memahami apa yang dimaksud dengan perencanaan bahasa itu, maka masalah berikut yang timbul adalah siapa yang harus melakukan perencanaan bahasa itu. Siapapun sebenarnya bisa menjadi pelaku perencanaan itu dalam arti perseorangan atau lembaga pemerintah atau lembaga suasta. Dalam sejarahnya, tampaknya, yang menjadi pelaku perencanaan itu adalah lembaga kebahasaan, baik dalam instansi maupun bukan.

Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan bahasa dimulai dari berdirinya commisie voor de volkslectuur yang didirikan oleh kolonial pemerintahan belanda pada tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah menjadi balai pustaka. Lembaga ini dengan majalahnya sari pustaka, panji pustaka, dan kedjawen dapat dianggap sebagai perencanaan dan pengembangan bahasa. Lalu, pada tahun 1942 pemerintah penduduk Jepang membentuk dua komisi bahasa Indonesia satu di Jakarta dan satu lagi di Medan.

Komisi ini diberi tugas untuk mengembangkan bahasa Indonesia lewat pembentukan istilah keilmuan, penyusunan tatabahasa baru, dan penentuan kata pungutan baru(moeliono 1983). Sesudah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1947 pemerintah indonesia membentuk panitia pekerja bahasa Indonesia dengan tugas mengmban peristilahan, menyusun tata bahasa sekolah, dan menyiapkan kamus baru untuk keperluan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.

Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistim ejaan yang ideal (baku) yang dapat digunakan oleh penutur dengan benar, sebap adanya sistem ejaan yang di sepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi.

Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang mungkin akibat dari perencanaannya yang kurang tepat; bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan. Perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijaksanaan yang tidak tepat atau keliru, karena salah mengistemasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.

Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi karna mereka yang memegang tampuk kebijakan diluar bidang bahasa. Di Indonesia, misalnya tidak jarang, ada orang yang cukup berpengaruh bukannya tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan “soal bahasa adalah urusan guru bahasa”

Berhasil atau tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan. Umpamanya, bagaimana mengevaluasi keberhasilan dalam bidang pembukuan bahasa, sebap pembukuan bahasa itu tidak disertai dengan pemerian terperinci mengenai sasarannya, dan tidak pula diberi kerangka acuan waktu bilamana hasil kira-kira akan tercapai.

Pustaka Acuan

Mata Kuliah Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia

Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa

Badudu,J.S.1989. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia

Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung:Angkasa

Chaer, Abdul. 1980. Sosiolinguistik :Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Balai Pustaka.

www.wikipedia.com

Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang disempurnakan
Diposkan oleh henscyber di 4/06/2009 03:01:00 AM
Label: Linguistik

Desain Bahasa - 2

SEJARAH PERKEMBANGAN PERENCANAAN BAHASA

Sebenarnya usaha perencanaan bahasa bukanlah merupakan hal baru. Banyak negara lain telah menjalankannya dari zaman ke zaman. Perumusan tatabahasa Yunani telah dilakukan pada zaman kerajaan Helenistik dan Alexander. Sanskerta juga telah dikodifiksikan 2000 tahun sebelum Masehi dengan tujuan agar tidak berubah demi kepentingan agama Hindu. Setelah Revolusi Perancis di Eropa, revolusi bahasa berlaku di Norwegia, Yunani, Belgia, Rumania, Hungaria, dan Bulgaria. Banyak usaha penyelaran dan pembakuan bahasa dilakukan. Setelah Perang Dunia Pertama, Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Islandia, dan Eirika juga melakukan usaha-usaha demikian terhadap bahasamasing-masing. Bahasa Rusia berkembang setelah Revolusi Rusia. Demikian juga, Turki menyerap ejaan Latin dan berbalik haluan dari negara Arab ke Eropa, dalam usaha memodernkan bahasanya, yang berlaku dalam revolusi total untuk modernisasi Turki.
Pada tahun 1582, Duke Casimo, setelah diyakinkan para penulis, telah mendirikan Accademica della Cusca, yang bertujuan membersihkan bahasa Italia dari pencemaran bahasa lain dan mempertahankan kemurniannya. Kardinal Richelieu dalam usaha memusatkan kekuasaan di Perancis telah mendirikan Academie Francaise pada tahun 1635, bertujuan untuk membentuk rumusan yang lebih jelas mengenai bahasa dan tatabahasa Perancis. Namun, dalam praktiknya, institusi ini lebih sekedar sebagai simbolkekuasaan daripada menjalankan tugas sebagai perencana bahasa. Hal ini dapat dilihat dari hasilnya yang hanya menerbitkan sebuah kamus (pada tahun 1694) dan ejaan Perancis yang hanya diresmikan sekali pada tahun 1835.
Setelah itu, Spanyol, Swedia, Hungaria mendirikan akademi bahasa,masing-masing pada tahun 1713, 1739, dan 1830. Ketiga lembaga ini tidak jauh berbeda dengan Academie Francaise. Meraka hanya memfokuskan padaketepatan penulisan ejaan, dan kurang membantu dalam hal pertumbuhan bahasa. Di negara-negara yang tidak mempunyai akademi, ada juga para ahli yang secara individu membantu usaha penyelarasan bahasa seperti yang dilakukan oleh Milton, Swift, Dryden, dan Defoe untuk bahasa Inggris dan Jerman. Adamtias Korais (1748-1863) telah mencoba membentuk bahasa Yunani murini dalampemakaian agama dan ilmu, dan menjauhkan dari unsur-unsur peminjaman dari bahasa lain. Pada tahun 1614 Vuk Stefanuric Karadzic menulis tatabahasa untuk bahasa Yugoslavia, dan pada tahun 1818 ia menerbitkan kamus. Ivan Aasen juga melakukan hal yang sama untuk bahasa Norwegia dengan menghasilkan sebuah tatabahasa (1964) dan sebuah kamus (1873).
Serangkaian usaha tersebut menandakan bahwa perencanaan bahasa telah ada. Manusia telah meletakkan nilai-nilai tertentu terhadap bahasanya dan merencanakan langkah-langkah yang mengarahkan agar masyarakat penuturnya menggunakan bahasa sesuai dengan tujuan yang dikehendakinya.
Pada zaman modern ini, dengan penduduk yang mempunyai ilmu semakin bertambah dan peringkat intelektual yang meningkat, bahasa baku yang mungkin tidak begitu penting bagi kesusastraan, adalah semakin penting dan diperlukan bagi ilmu pegetahuan dan teknologi. Di Turki, Kamal Ataturk,dalam usahanya meningkatkan bahasa Turki,menukar ejaan dari ejaan Arab ke ejaan Latin, supaya bahasa Turki bisa sebanding dengan bahasa lain di dunia. Di Cekoslowakia, pada ahli yang ditunjuk pemerintah telah giat berusaha untuk membakukan dan mengembangkan istilah untuk bahasa Yunani dan Slowakia. Dalam kurun waktu lima tahun (1945-1950) meraka telah berhasil menyusun tatabahasa dan sistem ejaan untuk kedua bahasa tersebut. Di Skandinavia, setiap negara bagian membentuk lembaga istilah dalam usaha meningkatkan kerja sama kebahasaan. Selanjutnya, di Israel, lembaga bahasa Yahudi terus bekerja untuk merencanakan bahasa bagi negaranya, sampai-sampai lembaga ini ditingkatkan menjadi akademi. Hasilnya, bahasa Israel (Yahudi) yang tadinya merupakan bahasa kuno dan mati, sekarang menjadi bahasa yang hidup dan modern.
Jadi, jelaslah bahwa usaha-usaha itu dilakukan demi meingkatkan fungsi dana “daya peran” bahasa-bahasa tersebut agar dapat mengungkapkan budaya ilmu yang semakin meningkat. Hal ini dilakukan dalam upaya perencanaan kebudayaan secara makro. Sebab, telah disadari bahwa setiap waktu ilmu dan budaya suatu bangsa terus berkembang dan memerlukan bahasa yang lebih mampu dan mumpuni untuk menampung perkembangan budaya terbut.
Pengertian Perencanaan Bahasa
Istilah “perencanaan bahasa” (language planning) semula digunakan oleh E. Haugen (1959) di dalam artikelnya ketika ia melakukan perencanaan bahasa terhadap bahasa Norwegia. Di dalam usaha tersebut, Haugen telah mendefinisikan “perencanaan bahasa” sebagai segala usaha ang dilakukan oleh lembaga tertentu untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan bahasa dan melibatkan usaha pembinaan, pengaturan, dan pembakuan atas bahasa sasaran.
Sebenarnya banyak ahli bahasa yang pernah membicarakan perencanaan bahasa ini, bahkan ada pula di antara mereka yang menggunakan istilah yang berlainan untuk maksud yang sama. R.A. Hall Jr. (1951) telah menggunakan istilah “politik bahasa” (glottopolitics) yang mengacu kepada penerapan ilmu linguistik oleh suatu negara untuk menentukan kaidah tertentu yang dipilih untuk mewujudkan keadaan dwi bahasa di dalam daerah jajahan yang mempunyai budaya yang berbeda. G.P Springer (1956) menggunakan istilah “perekayasaan bahasa” (language engineering) yang mengacu pada usaha pengabjadan dan pembakuan bahasa yang belum baku di Uni Soviet. S.T. Alisjahbana (1961) juga menggunakan istilah ini untuk mengacu pada aktivitas yang dilakukan secara sadar bagi pengembangan bahasa dalam koteks sosial, budaya, dan perubahan teknologi secara luas. Juga, ada sarjana lain yang pernah menggunakan istilah “perekayasaan bahasa” ini untuk mengacu kepada aktivitas yang terencana melalui sekolah, gereja, radio, surat kabar, dan juga perencanaan resmi untuk mempengaruhi penggunaan bahasa. R. Noss (19670) menggunakan istilah “pembangunan bahasa” (language development) dan “perencanaan bahasa” (language planning) di dalam pembicaraan mengenai keadaan penggunaan bahasa dalam pendidikan di Asia Tenggara. Istilah “perencanaan bahasa” juga digunakan oleh J. Rubin dan B.H. Jernudd (1971) untuk mengacu kepada usaha suatu lembaga yang bertujuan untuk melaksanakan perubahan sandi-sandi bahasa atau pertuturan bahasa, atau kedua-duanya. J.A. Fishman (1968) juga menggunakan istilah “perencanaan bahasa) dan “pembangunan bahasa” untuk mengacu kepada langkah-langkah yang direncanakan dalam rangka mencari penyelesaian atas masalah-masalah kebahasaan yang (pada umumnya) dilaksnakan pada tingkat nasional.
Dalam kasus bahasa Indonesia, kita terbiasa menggunakan istilah “perencanaan bahasa” sebagaimana yang digunakan oleh E. Haugen. Dalam praktiknya, perencanaan bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, sebagaimana konsep yang pernah disampaikan oleh J.V. Neustupny (1974), yaitu perencanaan status dan perencanaan bahan. Perencanaan status adalah perencanaan yang terkait dengan usaha peningkatan status bahasa Indonesia. Misalnya, pemberian status bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Setelah itu, ditingkatkan lagi statusnya sebagai bahasa oengantar pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa ilmu pengetahuan, bahkan sebagai bahasa budaya bangsa Indonesia. Perencanaan bahan adalah perencanaan yang terkait dengan aktivitas penyusunan ejaan, pembakuan ucapan, pembentukan istilah, penyusunan tatabahasa, penyusunan kamus, dan sebagainya. Semua langkah ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia (yang pelaksanaan yeknisnya diserahkan kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) dengan berbagai macam strategi dan kiatnya.
Berbagai Model Perencanaan Bahasa
Berdasarkan pengertian dan perspektif perencanaan bahasa dari berbagai ahli tersebut, akhirnya muncul pula berbagai model perencanaan bahasa. Model-model perencanaan bahasa ini sebagian besar dikembangkan dari pengalaman mereka masing-masing ketika melaksanakan tugas perencanaan bahasa di suatu negara. Berikut ini dikemukakan empat model perencanaan bahasa, yaitu model Haugen, Ferguson, Kloss, dan Karam, yang diharapkan bisa mewakili dari berbagai model yang ada.
a. Model Haugen (1959)
Berdasarkan pengalamannya di Norwegia, Haugen mengemukakakn empat tahapan dalam perencanaan bahasa, yaitu pemilihan, penyandian, pelaksanaan, dan peluasan.
1. Pemilihan. Tahap ini melibatkan pemilihan satu bahasa (atau lebih) atau norma yang akan dibina untuk tujuan tertentu. Pada umumnya, pembinaan ini bertujuan agar bahasa sasaran bisa menjalankan tugas sebagai bahasa nasional. Norma adalah suatu konsep abstrak yang dipilih atau dibentuk sebagai sasaran perencanaan. Bahasa baku, misalnya, adalah norma yang dijadikan sasaran perencanaan bahasa.
2. Penyandian. Tahao ini melibatkan uasaha-uasaha yang terkait dengan pembakuan bahasa,misalnya penyusunan ejaan, pembentukan istilah, penyusunan tatatabahasa, penyusunan ungkapan, dan sebagainya. Uapay pembakuan ini, kalau begitu, pada dasarnya adalah pengenalan sandi-sandi bahasa yang berbagai ragam itu dan menentukan penggunaan masing-masingnya.
3. Pelaksanaan. Tahap ini melibatkan aktivitas-aktivitas yang dilakuakn oleh petugas (baik lembaga maupun individu) yang ditunjuk untuk menyebarkan informasi dan melakukan pembinaan terkait dengan norma-norma yang telah ditetapkan dan penyandian yang telah disusun.
4. Peluasan. Tahap ini berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa sasaran, baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini melibatkan proses pemodernan bahasa sasaran secara umum.
b. Model Ferguson (1968)
C.A. Ferguson mengemukakan bahwa dalam usaha perencanaan bahasa terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan, yaitu pengabjadan, pembakuan, dan pemodernan.
1. Pengabjadan. Pengabjadan adalah usaha agar bahasa sasaran mempunyai abjad atau sistem ejaan yang sempurna. Kegiatan ini dilakukan apabila bahasa sasaran belum mempunyai ejaan, atau pembakuan atau perbaikan ejaan yang sudah ada.
2. Pembakuan. Pembakuan adalah proses menjadikan satu dialek atau bahasa sebagai bahasa yang baku dibanding dengan dialek-dialek lain lewat penggunaannya dalam bidang ilmiah, pemerintahan, atau situasi resmi lainnya.
3. Pemodernan. Pemodernan adalah usaha-usaha pengembangan kosakata dan pembinaan bentuk-bentuk wacana tertentu, biasanya wacana ilmiah. Pembinaan kosakata ini melibatkan penciptaan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan tertentu unuk menampung keperluan ilmiah atau bidang-bidang lainnya.
c. Model Kloss (1969)
H. Kloss mengemukakan bahwa perencanaan bahasa mempunyai dua dimensi, yaitu perencanaan status dan perencanaan bahan.
1. Perencanaan Status. Perencanaan status adalah usaha menentukan atau memilih suatu dialek atau bahasa dari berbagai dialek atau bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa yang berstatus tertentu. misalnya menjadi bahasa nasional, bahasa resmi, dan sebagainya.
2. Perencanaan Bahasa. Perencanaan bahasa adalah usaha yang terkait dengan pembentukan istilah, pembakuan ejaan, pembakuan tatabahasa, dan bagaimana penerapannya dalam praktik berbahasa.
Selain itu, Kloss juga mengemukakan satu unsur lagi, yaitu pembiayaan, yang melibatkan aspek ekonomi, dan penngurusan di dalam perencanaan bahasa. Sebagaimana perencanaan bahasa pada umumnya, unsur pembiayaan dan pengurusan adalah penting.
d. Model Karam (1974)
F.X. Karam mengemukakan satu model perecanaan bahasa (dalam bentuk diagram) yang dapat menjelaskan siklus pelaksanaan perencanaan bahasa. Model yang dimaksukan adalah sebagai berikut.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Penilaian
Perencanaan
Masyarakat Pengguna
Pelaksanaan
Diagram 1: Pelaksanaan Perencanaan Bahasa

Kalau mengiktui model ini, pelaksanaan perencanaan bahasa dilakukan pada tingkat nasional oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lembaga ini akan melakukan tiga tugas, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Komponen penialain, menurut Karam, sangat penting karena untuk mengetahui apakah langkah-langkah yang telah dilakukan berhasil atau belum.
Jadi, dapat dilihat bahwa perencanaan bahasa melibatkan usaha: pengumpulan data lewat penyelidikan atau penelitian baik menyangkut materi bahasa maupun budaya atau pemakaian bahasa; penyusunan perencanaan menyeluruh yang mungkin bisa dilakukan; dan pembuatan perencanaan awal yang diperlukan untuk menentukan keputusan mengenai pemilihan dan pembentukan norma bahasa. Upaya-upaya ini dilakukan setelah ada kepastian atau penentuan bahasa tertentu sebagai bahasa nasional. Pelaksanaan melibatkan penyandian (coding) norma-norma bahasa dan penyebarluasan hasil penyandian. Penilaian akan melibatkan penafsiran terhadap hasil (rumusan) perencanaan dan pelaksanaan perencanaannya. Proses ini merupakan “refleksi diri” terhadap lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan pelaksanan di lapangan, agar pada masa selanjutnya bisa lebih meningkatkan setiap tahapan kerjanya.
Kita memahami bahwa suatu masyarakat bahasa atau komunitas bahasa akab berubah mengikuti perkembangan dan keperluan zaman. Kondisi ini diikuti oleh perkembangan bahasa masyarakat tersebut. Oleh karena itu, siklus dan proses perencanaan akan dilakukan terus-menerus sebagaimana model yang terlihat pada diagram berikut.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Penentuan Norma Awal
Penyandian
Penyebaran
Masyarakat Bahasa
Penentuan Norma
Perubahan Bahasa dan Budaya
Diagram 2: Siklus Perencanaan Bahasa

Daftar Pustaka:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1961. “langauge Engineering Moulds Indonesian Language.” Dalam The Linguistics Reporter, 3 (3).
Ferguson, C.A. 1968. “Language Development.” Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.
Fishman, J.A. 1968. “Nationality-Nationism and Nation-Nationism.” Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.
Hall, Robert A. Jr. “American Linguistics”. Dalam Archivum Linguisticum, IV, 1951, Hlm. 1-16.
Haugen, E.. 1959. ”Planning for Standard Language in Modern Norway.” Dalam Anthropological Linguistics, I (3): 8 – 21.
Karam, Francis X. 1974. “Toward A Definition of Language Planning.” Dalam Fishman, Joshua A. (ed.). Advanced in Language Planning. The Hague: Mouton. Hlm. 112.
Kloss, Heinz. 1969. Research Possibilities On Group Bilingualism: A Report. International Center for Research On Bilingualism, Quebec.
Neustuphy, J.V. 1974. “Basic Types of Treatment of Language Problems.” Dalam J.A. Fishman, Joshua A. (ed.). Advances in Language Planning. The Hague: Mouton. Hlm. 37-48
Noss, R. 1967. Language Policy and Higher Education, Vol III, Part 2 of Higher Education and Development in Southeast Asia. Paris: UNESCO and Internatioan Association of Universities.
Rubin, J & B. H. Jernudd. 1971. Can Language be Planned? Sociolinguistics Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu, Hawaii: East West Cantre Book.
Springer, George P. 1956. Early Soviet Theories in Communication. Cambridge: MIT
Drs. Masnur Muslich, MSi. adalah dosen Universitas Negeri Malang – Indonesia. Kini (Juni – Desember 2006) diperbantukan di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Patta

Desain Bahasa - 1

PERENCANAAN BAHASA

Sumber : http://muslich-m.blogspot.com

Latar Belakang Perencanaan Bahasa

Mengapa perencanaan bahasa diperlukan oleh masyarakat pemakainya? Berkaitan dengan itu, Charles A. Ferguson (1977) dalam bukunya Language Planning Processes memberikan ilustrasi baik yang menyangkut karakteristik bahasa, pemakai bahasa, dan “sejarah pemaksaan” pemakaian bahasa oleh penguasa, yang pada garis besarnya sebagai berikut.

  1. Bahasa itu dinamis sehingga menyebabkan bahasa itu hidup, berubah, dan berkembang. Bahasa itu aktif dan terus berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat pemakai bahasa tersebut.
  2. Banyak pemakai bahasa yang sedikit banyak telah mempunyai pengetahuan tentang linguistik. Mereka dapat menilai dan menentukan apakah bahasa itu betul atau salah dalam penggunaannya. Mereka dapat memperkirakan apakah bahas itu baik, tidak baik, enak didengar, atau janggal ketika dipakai. Ada juga sebagian pemakai bahasa yang dapat membedakan apakah bahasa itu baku (standar), tidak baku, dialek, kreol, slang, dan variasi lainnya. Padaprinsipnya pemakai bahasa (penutur, penulis, pendengar, pembaca) dapat menilai apakah bahasa itu benar atau salah berdasarkan ilmu bahasa yang diketahuinya.
  3. Penjajah dapat juga menyebabkan penggunaan bahasa pada masyarakat tertentu berubah. Perubahan semacam ini banyak berlaku di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penjajah memaksakan penggunaan bahasanya terhadap penduduk atau negara yang dijajahnya. Banyak negara di Afrika jajahan Perancis menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, meskipun negara tersebut telah merdeka.

Sampai abad ke-16, terdapat tiga bahasa yang digunakan di Inggris, yaitu bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Latin. Bahasa Inggris digunakan di rumah dan komunikasi umum, bahasa Perancis digunakan di parlemen dan pemerintahan, dan bahasa Latin digunakan di gereja. Setelah itu, terjadi perubahan besar di Inggris (Jones, 1993). Pemerintah pada saat itu menetapkan strategi yang amat fondamental, yaitu bahasa Inggris harus digunakan di semua bidang dan ranah pemakaian, termasuk di parlemen dan gereja. Dalam waktu relatif singkat, pemakaian bahasa Perancis dan bahasa Latin tersisih. Sebab, bahasa Perancis yang biasa dipakai di parlemen beralih ke bahasa Inggris, begitu, bahasa Latin yang biasa dipakai di geraja beralih ke bahasa Inggris. Bahkan, rakyat Wales, Irlandia, dan Skotlandia yang biasanya menggunakan bahasa mereka sendiri, setelah keputusan pemerintah Inggris tersebut, ikut beralih ke bahasa Inggris. Pengorbanan dan kerelaan rakyat jajahan Inggris ini membantu kelancaran pembinaan dan pengembangan bahasa Inggris. Pada abad ke-18 dab 19 bahasa Inggris terus berkembang ke negara-negara jajahan Inggris. Hingga kini bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa dunia dan dipakai dalam komunikai internasional.

Aspek-aspek Perencanaan Bahasa

Ferguson (1966) dan Steward (1968) menyatakan bahwa ciri-ciri bahasa yang memudahkan masyarakat awam menerima perencanaan bahasa adalah sebagai berikut.

  1. Bahasa itu adalah bahasa pribumi (penduduk asli) atau bahasa ibu negara itu.
  2. Bahasa itu pernah menjadi lingua franca dalam negara itu dan antarnegara tetangga.
  3. Bahasa itu berpotensi (kreatif dan fleksibel) untuk perkembangan pendidikan, agama, sastra, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan media massa.
  4. Bahasa itu mempunyai budaya yang mantap dan agung.
  5. Sejarah bahasa itu mantap dan sahih.
  6. Bahasa itu mempunyai banyak bahan dokumentasi untuk dikaji.
  7. Bahasa itu mempunyai pakar tradisional dan modern.
  8. Bahasa itu mempunyai kebijakan (polecy) perencanaan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang cinta bahasanya.
  9. Bahasa itu dihormati oleh pemakainya dan masyarakat pemakai kelompok lain.
  10. Bahasa itu mempunyai ciri kebangsaan atau nasional.
  11. Bahasa itu mempunyai daya tarik yang memudahkan pemakainya taat dan setia kepadanya.
  12. Bahasa itu mudah memupuk persatuan bangsa dan negara.

Ferdinand de Saussure (1922) seorang tokoh bahasa Perancis berpendapat bahwa perencanaan bahasa perlu dilakukan secara berangsur-angsur dan berkesinambungan karena hal-hal berikut.

  1. Budaya suatu masyarakat senantiasa berubah yang mengkibatkan bahasanya pun berkembang dan berubah.
  2. Bahasa perlu dirancang untuk menyediakan ruang daya cipta dan kreativitas individu.
  3. Perencanaan bahasa dapat membantu corak kepemimpinan suatu bangsa.
  4. Pemerintah yang melaksanakan perencanaan bahasa berarti memelihara jiwa bangsanya.
  5. Perkembangan bahasa yang terencana dapat dijadikan bahasa nasional dan bahasa resmi.
  6. Perencanaan bahasa dapat menepis pengaruh negatif terhadap bahasa tersebut.
  7. Bahasa yang terencana (perkembangannya) dapat dijadikan alat propaganda bangsa dan negara.
  8. Bahasa yang trrencana (perkembangannya) dapat memupuk sentimen atau ideologi bangsa tersebut.
  9. Bahasa yang terrencana (perkembangannya) dapat menampung konsep atau ide baru yang muncul sejalan dengan perkembangan bahasa tersebut.

Realitas Perencanaan Bahasa

Sejarah mencatat bahwa perubahan dan perpindahan bahasa antara lain bisa disebabkan oleh penjajahan. Sebagai akibat penjajahan Spanyol dan Portugis, bahasa Latin digunakan secara meluas di Amerika Latin. Hampir seluruh negara bekas jajahan Inggris, kini menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, India dan Singapura sampai sekarang menggunakan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resminya. Semua negara jajahan Uni Soviet atau Rusia pernah dipaksa menggunakan bahasa Rusia selama hampir 50 tahun, walaupun setelah Uni Soviet runtuh, bekas jajahannya saat ini tidak lagi menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa resminya.

Apabila diteliti lebih jauh, perubahan dan perpindahan bahasa disebabkan oleh bebarapa faktor. Selain disebabkan oleh penjajahan, faktor lainnya adalah: perpindahan penduduk dari negara satu ke negara lain, perdagangan (yang menyebabkan penduduk berinteraksi dengan pedagang/pendatang), transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pertemuan dua budaya atau lebih sehingga saling mempengaruhi (baik secara difusi maupun asimilasi) di kawasan isoglos. Oleh karena bahasa itu berubah, berkembang, bahkan bertukar – sebagai akibat faktor tersebut –, perencanaan dan pembinaan bahasa perlu dilakukan. Perubahan dan perkembangan bahasa yang direncanakan, dikendalikan (diarahkan), dan dilaksanakan secara terstruktur dan tersistemlah yang akan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah dan pakar bahasa setempatlah yang sangat menentukan keberhasilan perencanaan dan pembinaan bahasa ini.

Norwegia merupakan salah satu contoh perencanaan bahasa yang dilakukan dengan baik, yang dipelopori oleh Einer Haugen (1966). Terkait dengan perencanaan bahasa ini International Research Project on Language Planning telah mengadakan kongres yang bertopik “Language Problems of Developing Nation” yang disponsori oleh Social Science Research Council Comittee on Sociolinguistics di Virginia, Amerika Serikat (Fishman, 1966). Lima negara telah mengirimkan delegasinya ke kongres tersebut. Pada tahun 1968 dan 1968 kongres yang sama dilaksanaka di Honolulu, Hawaii atas sponsor Ford Foundation. Lebih lanjut Fishman (1977) mengatakan bahwa perencanaan bahasa akan berhasil apabila didukung oleh semua pihak, khususnya: pemerintah atau meneteri terkait, pendidik, ahli bahasa, hakim, kalangan swasta, dan rakyat sendiri.

Dalam bukunya Advance ini Language Planning, Fishman (1977) menekankan bahwa perencanaan bahasa dapat dikelomokkan menjadi dua bagian, yaitu perencanaan status dan perencanaan korpus. Perencanaan status adalah pemberian kedudukan yang jelas kepada suatu bahasa, yaitu sebagai bahasa resmi, bahasa negara, atau bahasa nasional. Tindakan ini menyangkut bagaimana peran pemerintah, bagaimana payung hukumnya, bagaimana pelaksanaan teknisnya yang terkait dengan penguasaan dasar pemakaian, penyebaran pemakaian, pemupukan sikap pemakai, dan deskripsi bahasa tersebut. Perencanaan korpus adalah usaha kodifikasi bahasa dalam rangka penyempurnaan bahasa tersebut sehingga bisa dipakai secara mantap baik secara lisan maupun tulis. Aspek-aspek yang dirancang adalah abjad, ejaan, lisan, tulis, kosakata, istilah, kamus, buku teks, laras, sastra, dan bahan pengajaran bahasa di lembaga-lembaga pendidikan. Kedua kelompok perencanaan bahasa bisa berjalan apabila didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai (termasuk anggaran) dari pemerintah. Negara-negara yang telah mengikuti pola perencanaan bahasa tersebut adalah India, Pakistan, Israel, Finlandia, Papua New Guinia, dan Indonesia.

Ferguson (1968) menggariskan bahwa perencanaan bahasa perlu melalui tahapan berikut:

- pengabjadan (graphization),

- pembakuan (standardization), dan

- pemodernan (modernization).

Perencanaan bahasa juga perlu diikuti dengan pembinaan dan pengembangan bahasa agar pemakaian bahasa bisa diterapkan secara maksimal: sempurna.

Terkait dengan perencanaan bahasa tersebut, pendapat para ahli perencanaan bahasa berikut perlu diperhatikan.

  1. E. Haugen (1966) mengatakan bahwa perencanaan bahasa memerlukan perwujudan satu kebijakan bahasa; kodifikasi bahasa untuk pemakaian umum, modern, dan teknik; perkembangan dan pelaksanaannya.
  2. Sjoberg (1966) mengatakan bahwa ketika merencanakan suatu bahasa harus mengakomodasi pendapat dan pendangan masyarakat pemakai bahasa tersebut sebab merekalah pendukung utama pelaksanaannya nanti. Dengan cara ini, perencanaan bahasa bersifat demokratis, menyeluruh, dan memudahkan pemupukan rasa setia dan rasa taat asas terhadap bahasa.
  3. Neustupuy (1970) menambahkan bahwa perencanaan bahasa juga harus memperhatikan stilistika sebab stilistika menyediakan kesempatan bagi perkembangan sastra.
  4. Rubin (1971) mengatakan bahwa setiap tahap perencanaan bahasa perlu ada proses penilaian agar dapat diketahui kadarkeberhasilannya. Lewat penilaian ini pun akan diketahui bagimana kondisi dan tingkat perkembangan bahasa tersebut.
  5. Jernudd dan Das Gupta (1971) berpendapat bahwa pemerintah yang berkuasa dapat menjadi penggerak dan kunci keberhasilan perencanaan bahasa. Oleh karena itu, perhatian dan keterlibatan pemerintah sangat diperlukan agar setiap tingkat perencanaan berjalan dengan baik sehingga mempercepat terwujudnya sosok bahasa yang ditargetkan.
  6. V. Tauli (1973) mengatakan bahwa perencanaan bahasa mustahil bisa berjalan apabila tidak didukung oleh biaya yang memadai. Oleh karena itu, komitmen pemegang sumber dana – dalam hal ini pemerintah – untuk mengalokasikan biaya perencanaan bahasa secara berkala sangat diperlukan.
  7. Fishman (1973) menyarankan agar perencanaan bahas diselaraskan dengan perencanaan bidang-bidang lain agar padu dan/atau bersinergi dengan perencanaan induk negara. Dengan cara demikian, kepaduan dan integritas nasional bisa terpupuk dengan baik.

Ilustrasi berikut juga dapat dipakai sebagai pertimbangan bahwa perencanaan bahasa memang diperlukan oleh masyarakat pemakainya. Wilhelm von Humboldt (1907) suatu ketika pernah berkata bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang mudah dipakai masyarakat ketika berurusan dengan kehidupan sehari-harinya. Pada zaman dahulu, banyak kata-kata yang mempunyai kaitan dengan alat sekitar dan budaya atau kebiasaan sehari-hari masyarakat pemakainya sehingga lahir istilah “bahasa adalah jiwa masyarakat”. Hal ini bisa dimaklumi karena dengan mengkaji bahasa kita dapat memahami sedikit atau banyak budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut.

Joyce O. Hertzler (1965) mengatakan bahwa bahasa dapat memancarkan identitas rasa, penunjuk pangkat, derajat, keturunan, hubungan kekeluargaan, cara pemikiran, weltanshauung, aktivitas harian, kreativitas, ilmu, teknologi, cara dan gaya hidup, adat dan budaya suatu bangsa. Bahkan, sebagian bangsa ada yang membedakan pemakaian bahasa untuk golongan atau kelompok laki-laki dan perempuan. Sementara itu, V. Tauli (1974) dalam bukunya The Theory of Language Planning menyatakan bahwa banyak individu yang dapat menilai bahasa yang dipakainya. DIa mengetahui apakah bahasa yang dipakainya betul atau tidak, sopan atau tidak. Malah, katanya lagi, individu bebas memilih laras (register) apa yang digunakan, remi atau tidak, ilmiah atau tidak, biasa atau tidak, akrab atau tidak, formal atau tidak, baku atau tidak, halus atau tidak; bahkan ia suka-suka memilih dialek,kreol, slang, bahasa tulis atau lisan. Jelaslah di sini bahwa individu memunyai kebebasan yang luas untuk memilih penggunaan bahasanya. Dijumpai juga individu yang setia menggunakan bahasa aslinya,mengubah,menukar, atau memindahkan bahasanya. Hal ini amat bergantung pada penguasaan bahasa. Dia seorang eka bahasa, dwi bahasa, atau multi bahasa. Namun, katanya lebih lanjut, sekirany manusia itu tidak sempurna,bahasanya pun tidak sempurna. Hal inilah yang menyebabkan diperlukan perencanaan bahasa agar bahasa bisa mengemban fungsinya secara maksimal. Terkaikt dengan penilaian bahasa ini, Otto Jespersen (1921) setuju bahwa sebelum perencanaan bahasa dilakukan perlu diadakan penilaian terhadap bahasa tersebut. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana taraf perkembangannya. Penilaian ini terus dilakukan secara periodik seiring dengan pembangunan ilmu dan teknologi suatu bangsa pemakai bahasa tersebut.

Banyak ahli bahasa yang berminat terhadap perencanaan bahasa. Mereka menyumbangkan pemikirannya dalam perencanaan bahasa bagi negaranya. Tokoh-tokoh yang dimaksud tercatat sebagai berikut.

  1. Chatterji (1943), Brown (1953), dan Das Gupta (1970) untuk India.
  2. Jones (1949) untuk Jepang.
  3. De Francis (1950) untuk Cina.
  4. Zaki (1953) untuk Mesir.
  5. Heyd (1954) dan Gallagher (1971) untuk Turki.
  6. Morag (1959), Blanc (1968), dan Rubin (197..) untuk Israel.
  7. S.T Alisjahbana (1960) untuk Indonesia.
  8. E. Haugen (1966) untuk Norwegia.
  9. Ramos, Sibayan, dan Aquilar (1967) untuk Filipina.
  10. Whiteley (1969) untuk Kenya dan Tanzania.
  11. Macnamara (1971) untuk Irlandia.

Terkait dengan perencanaan bahasa ini, Ferguson (1966) DAN Ohamnesian (1971) memperkenalkan satu bagan ringkas untukmembantu perencanaan bahasa, Topik besar yang diperkenalkan adalah perencanaan, pelaksanaan, komunitas bahasa, dan penilaian.

Setelah bahasa direncanakan, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, yaitu komunitas bahasa yang akan menggunakan bahasa, dan menguji segmen atau bagian yang direncanakan. Kemampuan komunitas menggunakan bahasa yang direncanakan akan menjadi balikan bagi perencana untuk dianalisis. Perencana akan menilai apakah segmen yang direncanakan sudah tercapai atau belum. Kalau belum, masalah apa yang dihadapi oleh komunitas bahasa, dan bagaimana upaya pemecahannya. Perencanaan berikutnya diarahkan pada segmen-semen yang belum tercapai, sehingga lambat laun perencanaan bahasa akan berhasil sesuai dengan target.

Johannes Aarik (1924) berpendapat bahwa pada tingkat pelaksanaan harus juga digalakkan kreativitas secara bebas agar banyak karya atau tulisan yang dihasilkan komunitas bahasa. Karya-karya yang baik dapat dipakai sebagai acuan komunitas bahasa (terutama pemakai utama bahasa) tersebut. Strategi ini dapat dipakai juga untuk mempercepat proses perencanaan bahasa dalam bidang korpus. Dalam pelaksanaannya tentu timbul berbagai masalah bahasa, terutama ketika diadakan penialaian. Sehubungan dengan ini, S.T. Alisjahbana (1964) dan Rubin dan Jernudd (1971) menyarankan agar dibentuk kelompok perencana (ahli bahasa setempat) yang bertugas menyelesaikan atau memecahkan masalah-masalah bahasa tersebut. Dengan caraini, proses perencanaan bahasa akan lancar dan terkendali. Dalam rangka penyelesaian masalah-masalah bahasaini perlu juga dipertimbgangkan faktor sosial, ekonomi, politik, demografi, dan psikologi masyarakat pemakainya.

P.A. Garvin dan Mathiod (1974) memberikan contoh keberhasilan perencanaan bahasa dalam bidang status karena direncanakan secara sistematis, terkendali, dan terorganisasi. Negera-negara yang berhasil adalah:

a. Bahasa Inggris dan Perancis di Kanada dan Kamerun.

b. Bahasa Perancis dan bahasa Flemish (?) di Belgia.

c. Bahasa Perancia, Italia, Jerman, dan Romanish (?) di Switzerland (?).

d. BahasaMelayu, Mandarin., Tamil, dan Inggris di Singapura.

Masing-masing bahasa di negara tersebut mempunyai status tersendiri sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam ranah pemakaiannya.

Pada sisi lain, banyak juga negara yang merencanakan bahasa resmi dengan berhasil. Hal ini terjadi karena pemerintah (atau pemerintah) sadar bahwa bahasa dapat dijadikan alat untuk komunikasi resmi kenegaraan, sehingga kinerja pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Negara-negara yang berhasil menentukan atau memilih bahasa fresmi negara adalah:

  1. Perancis memilih bahasa Perancis,
  2. Inggris, Amerika, Singapura, India, Papua New Guinea, Filipina, dan Kanada memilih bahasa Inggris,
  3. Indonesia memilih bahasa Indonesia.
  4. Malaysia memilih bahasa Melayu,
  5. Israel memilih bahasa Hebew (?), dan
  6. Peru memilih bahasa Quechue (?).

Weinstein (1980) yakin bahwa perencanaan bahasa suatu negara akan berhasil dengan baik apabila inisiatif tersebut berawal dari pemerinah yang bersangkutan. Sebab, pemerintah mempunyai kemampuan memasukkan perencanaan bahasa tersebut dalam perencanaan pembangunan negara. Pemerintah mampu menyediakan biaya tinggi untuk memulai pelaksanaan perencanaan bahasa ini. Sejajar dengan pembangunan yang lain, perencanaan bahasa ini dapat memupuk persatuan dan integrasi nasional. Bahkan, dalam jangka panjang, perencanaan bahasa ini dapat membantu pembangunan budaya, bangsa, dan negara. Lebih jauh Jyotirindra Das Gupta, Joshua Fishman, Bjorn Jernudd, dan Joan Rubin (1968-1969) sependapat bahwa perencanaan bahasa memerlukan lembaga khusus (semacam Pusat Bhasa di Indonesia) yang bertugas menangani atau menyelesaikan masalah-masalah bahasa yang timbul ketika pelaksanaan. Di samping itu, lembaga ini juga berfungsi untuk mengendalikan dan memonitor perkembangan perencanaan. Sebab, bagaimana pun, perkembangan yang terkendali tentu lebih baik daripada yang tidak terkendali atau perkembangan yang liar. Terkait dengan perkembangan bahasa ini, Gabarrubias (1983) mengingatkan perencana bahasa bahwa ada bahasa yang telah mati karena dibiarkan dan tidak dipakai lagi oleh komunitasnya. Faktor utama penyebabnya adalah bahasa itu tidak memunyai perencana yang handal dan masyarakat bahasanya tidak mencintai bahasa ibu mereka sendiri. Misalnya, bahasa Basque di Spanyol. Oleh karena itu, agar bahasa tidak menjadi simpanan di museum, bahasa perlu direncanakan, dibina, dan dimodernkan agar budaya, bangsa, dan negara yang mendukung bahasa itu terus hidup dan dinamis.

Pada 7 – 10 April 1969, sepuluh orang ahli bahasa terkenal dunia berkumpul di Honolulu Hawaii untuk membicarakan topik-topik yang terkait dengan perencanaan bahasa. Antara lain tokoh-tokoh itu adalah S.T. Alisjahbana dari Indonesia, Ferguson dan Gallagher dari Turki, Hai dan Haugen dari Norwegia, Sibayan dan Rubin dari Filipina, Kelman dan Macnamara dari Irlandia. Pertemuan ini bertujuan untuk membicarakan dasar-dasar perencanaan bahasa, yang akhirnya menghasilkan satu garis besar (semacam blue-print) perencanaan bahasa. Garis besar itu dapat dipakai oleh perencana bahasa sebagai panduan umum. Setiap segmen diteliti, dikaji, dan didiskusikan, yang akhirnya dikerangkakan untuk panduan perencana bahasa, terutama di negara-negara yang sedang membangun. Yang ikut terlibat dalam pembicaraan itu adalah tokoh-tokoh dari disiplin lain, yaitu tokoh di bidang antropologi, sosiologi, ilmu pilitik, ekonomi, budayawan, dan psikologi. Mereka diminta pendapat dan pendangan agar kerangka acuan perencanaan bahasa ini bisa menyeluruh dan sinergis dengan disiplin lain. Negara yang terlibat dalam penyusunan kerangka panduan ini adalah Indonesia, Filipina, Pakistan, Irlandia, Kenya, Tanzania, Turki, dan Israel. Pada September 1969 terjadi kegiatan yang sama yang dilakukan oleh lain negara atas sponsor Ford Foundation. Tokoh yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Ferguson (1969) dan Fishman (1969).

J. Rubin dan B. H. Jernudd (1971) dalam tulisan mereka yang berjudul “Language Planning as an Element in Modernization” menyarankan agar faktor-faktor berikut ini dimasukkan dalam perencaraan bahasa.

  1. Memperkaya dan mengembangkan bahasa nasional lebih intensif.
  2. Menggalakkan penulis dan calon penulis untuk menulis buku-buku dalam bahasa nasional.
  3. Menggalakkan penulisan karya sastra dalam bahasa nasional.
  4. Mencetak dan menerbitkan bahan-bahan bahasa dan sastra dalam bahasa nasional.
  5. Membantu penerbitan jurnal, buku,majalah, makalah, dan rencana bahasa dan sastra dalam bahasa nasional.
  6. Merencanakan dan membukukan sisem ejaan, sistem ucapan, tatabahasa, istilah, kamus, ensiklopedia, dan bahan pengajaran bahasa dalam bahasa nasional.
  7. Menyusun dan mencetak semua jenis kamus dan ensiklopedia dalam bahasa nasional.
  8. Menyelesaikan semua masalah yang terkait dengan bahasa sekiranya timbul dalam proses kontinum dalam pelaksanaan bahasa basional.
  9. Mewujudkan satu institusi khusus yang tugas utamanya menjalankan pelaksanaan bahasa nasional secara total. Perwujudan isntitusi ini diharapkan akan melahirkan ahli bahasa yang mahir dan pakar dalam ihwal bahasa nasional. Mandat yang diberikan kepada institusi ini diharapkan bisa menjadi institusi rujukan yang berkewenangan memberikan pernyataan, penjelasan, atau saran yang terkait dengan ihwal bahasa nasional. Kewenangan ini karena dibuktikan oleh kemampuan dan dedikasinya yang tinggi terhadap bahasa nasional.

Akademi Bahasa Perancis dapat dijadikan contoh sebuah institusi yang memiliki kemampuan yang mendalam dan kewibawaan yang tinggi dalam ihwal bahasa Perancis. Akademi ini setidaknya mampunyai 40 orang ahli bahasa yang mumpuni setiap kurun.

Pada umumnya suatu bahasa mempunyai masyarakat penuturnya. Dalam proyek perencanaan bahasa, penutur-penutur asli ini perlu dimintai pendangan dan pendapat karena golongan inilah yang akan menjadi pendukung utamanya. Mereka akan lebih bangga dan merasa dihargai jika ketika bahasa mereka dirancang, mereka diberikan kesempatan untuk bersuara mengenai bahasa mereka. Setiap masyarakat yang cinta akan bahasanya, mereka menginginkan bahasanya terancang, terkendali, terbina, dan modern. Di negara-negara yang sedang membangun, masyarakat bahasanya masih membicarakan bahasa nasional, bahasa resmi, pembakuan, pelaksanaan, penilaian, dan pemodernan bahasa.

E. Haugen (1966) yang mempelopori perencanaan bahasa di Norwegia berkata bahwa walaupun ia diberi tanggung jawab penuh untuk merencanakan bahasanya, namun tugas ini dilakukannya dengan berkerja sama semua pihak. Bahasa adalah milik semua orang, maka sangat wajarlah kalau semua orang turut dalam perencanaannya. Salah satu tujuan perencanaan bahasa adalah mengangkat status bahasa menjadi bahasa nasional atau bahasa resmi. Sekiranya pengangkatan ini diterima dengan baik oleh masyarakat penuturnya,maka bahasa dapat dijadikan alat untuk menyatupadukan rakyat dan integrasi nasional. Perencanaan bahasa dilakukan seiring dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, perencanaan bahasa yang baik akan menjadikan negaranya dikenal olah bangsa lain (bahkan dikenal dunia) karena bahasanya mampu memaparkan pertumbuhan pembangnan negaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekonologi.

Lajunya pembangunan idustri suatu negara akan mamaksa perlunya perencanaan bahasa karena kedua hal ini harus berkembang serentak. Jika bahasa tidak berkembang,maka perkembangan pembangunan yang lain (termasuk industri) akan terhambat. Oleh karena itu, perencanaan yang terpadu dan sinergis dalam semua bidang meruakan persyaratan yang harus dipenuhi. Dalamkaitan dengan perencanaan bahasa, faktor yang perlu dipertimbangkan latar belakang masyarakat, situasi masyarakat, sikapmasyarakat,politik. Ekonomi. Dasar negara, budaya, sejarah bangsa, kesan psikologis dan implikasinya padamasyarakat. Apabila faktor ini diperhatikan dalam perencanaan bahasa akan berdampak positf bagi negara dan bangsa pemakai bahasa tersebut. Di beberapa negara, perencanaan bahasa yang memperhatikan faktor tersebut bisa membantu kerukunan dan integritas nasional, mewujudkan kestabilan politik, kegiatan pertumbuhan ekonomi, perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, kemanan dan ketenteraman umum.

E. Haugen juga menasihati calon perencana bahasa, jangan sampai melakukan proyek perencanaan bahasa yang bisa memancing kericuhan bangsa. Bahasa adalah jiwa bangsa. Masyarakat siap mati demi mempertahankan bahasanya. Sebaliknya, perencanaan bahasa seharusnya bisa memperkokoh sistem ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pembangunan negara. Sebagai contoh, kekacauan dan kericuhan pernah terjadi di India dan Srilangka dipicu oleh perencana bahasa yang mempunyai sifat nativisme. Perjuangan dan sikap kesukuan ini menyebabkan rakyat terpecah-pecah dan timbul kekacauan. Perencana bahasa yang baik mestinya memabantu mewujudkan suasana komunikasi yang kondusif, saling menghormati, keakraban, dan tidak saling mencurigai di kalangan masyarakatnya.

Komunikasi yang akrab, kondusif, dan tidak saling mencurigai akan melahirkan suasana yang terteram dan harmonis di kalangan masyarakatnya. J.A. Fishamn (1971) dalam bukunya Impact of Nationalism on Language Planning menyatakan bahwa perencanaan bahasa merupakan ciri pembangunan dan pemodernan bangsA dan negara. Contoh ini banyak berlaku di Eropa, Asia,dan Afrika. Perncanaan bahasa di Asia dan Afrika berjalan setelah negara dijajah. Ketika dijajah, semangat kebangsaan dan semangat ingin merdeka mulai lahir karena rakyat terasa tertekan di negeri sendiri. Tekanan inilah yang menyebabkan mereka bersemangat menantang penjajah. Kalu dahulu bahasa penjajah yang digunakan sebagai bahasa resmi pemerintahan, kini mereka mulai mengangkat bahasa sendiri (pribumi) sebagai bahasa nasional (kebangsaan). Proses penggantian bahasa penjajah ke bahasa probudi ini memakan waktu yang cukuplama karena golongan tua sudah terbasa memakai bahasa penjajah. Karena itu, perencanaan bahasa di sebagian besarnegara Asia memerlukan jangka waktu yang cukup lama.

Perencanaan bahasa juga bertujuan untuk mensinkronkan semua dialek yang terdapat dalam suatu negara. Dengan cara ini diharapkan negara itu hanya mempunyai satu bahasa rujukan untuk semua rakyatnya. Sinkronisasi ini dapat memperkecil pemakaian dialek kedaerahan yang bermacam-macam, karena diarahkan ke pamakaian bahasa yang seragam dan satu. Kalau keinginan ini tercapai, maka pembakuan dan pemodernan bahasa lebih mudah tercapai dan pada akhirnya dapat membentuk satu masyarakat. Satu bahasa, satu budaya, satu bangsa, dan satu negara. Indonesia telah menggunakan konsep ini lewat ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928: satu bangsa, satu megara, satu bahasa; walaupun pelaksanaannya dimulai sejak tahun 1945 bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Hal ini dilakukan karena Indonesia mempunyai banyak bahasa dan banyak dialek. Konseo ini pun dapat digunakan untuk usaha penyatuan bahasa, budaya, bangsa, dan negara. Rajiv Gandhi (1989), bekas perdana menteri India, pernah menyatakan bahwa salah satu faktor yang membawa penyatuan negara Persemakmuran (Inggris) adalah bahasa, yaitu bahasa Inggris.

Tanpa perencanaan bahasa, dialek dan bahasa daerah akan tumbuh dan berkembang menuju keinginan masing-masing yang kebanyakan bersifat kedaerahan, yang akhirnya bisa membawa suku atau kelompok yang menggunakan bahasa itu memilih cara, haluan, dan sikap politik masing-masing. Akhirnya, mereka akan terpecah, memisahkan diri, menonjolkan keinginan masing-masing sehingga timbul pertentangan dan kekacauan. Kondisi ini pernah terjadi di Irlandia, India, Eropa Timur, Afrika, dan bekas jajahan Uni Soviet. Bangsa yang berpaham nativisme rela mati mempertahankan bahasa warisan leluhurnya. Di sisi lain, ada juga bangsa yang amat bangga dengan bahasamereka, misalnya bangsa Inggris, Perancis, Rusia, dan Yahudi.

Perencanaan bahasa di suatu negara bisa mantap apbila status bahasa itu telah tercantum dalam undang-undang negara tersebut, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa nasional. Dedngan demikian, perenacanaan bahasa lebih diarahkan pada penyempurnaan “inti bahasa”,misalnya pembakuan abjad, ejaan, kosakata, istilah, kamus, tatabahasa, buku teks, bahan pengaharan bahasa, pelatihan guru bahasa, ensiklopedia, dan bahan rujukan lain. Perenaan akan lebih lancar dan terprogram apabila melibatkan pihak pemerintah (atau departemen terkait), masyarakat bahasa, pihak swasta, ahli bahasa, dan partisan individu. Perencanaan semacam ini akan memberikan manfaat langsung kepada bangsa dan negara.

Fishman (1971) berpendapat bahwa perencanaan yang baik memerlukan penyelidikan yang bersifat ilmiah, empiris, prakis, padu, dan up to date. Perencanaan bahasa jangan dilakukan secara ad hoc, tergesa-gesa, dan tambal sulam, karena perencanaan yang baik perlu valid, kredibel, dan objektif. Dengan cara demikian, hasilnya diharapkan sesuai dengan target: perkembangan bahasa yang mantap, bahasa yang dapat menimbulkan rasa setia pemakainya, dan bahasa yang bisa menimbulkan “rasa memiliki” (sense of belonging) bagi pemakainya. Perkembngan dan kondisi bahasa yang demikian akan menghilangkan salah paham dan perpecahan karena semua pemakainya berbangga diri dengan satu bahasa.

Daftar Pustaka

Alisjahbana, S.T. 1970. “Some Planning Processes in the Development of the Indonesia-Malay Language.’ Dalam Rubin, et.al. Can be Language be Planned? Honolulu: University of Hawaii Press, hlm. 179-188.

Eastman C.M. 1983. Language Planning: An Introduction. San Francisco: Chandler & Sharp Publisher.

Ferguson, C.A. 1968. “Language Development.” Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.

Fishman, J.A. 1968. “Nationality-Nationism and Nation-Nationism.” Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.

Fishman, J.A. 1973. “Language Modernization and Planning in Comparison with other Types of National Modernization and Planning.” Dalam Language in Society, 2: 23-43.

Fishman, Joshua A. (ed.). 1974. Advanced in Language Planning. The Hague: Mouton.

Haugen, E.. 1959. ”Planning for Standard Language in Modern Norway.” Dalam Anthropological Linguistics, I (3): 8 – 21.

Haugen, E.. 1966. “Construction and Reconstruction in Language Planning: Ivar Aasen’s Grammar.” Dalam Word, 2 (2): 188 – 207.

Haugen, E.. 1966. “Dialect, Language, Nation.” Dalam American Anthropologist, 68 (4): 922 – 935.

Haugen, E.. 1966. “Linguistic and Language Planning.” Dalam W. Bright (ed.). Sociolingustics: Proceedings of the VCLA Sociolinguistics Conference. The Huggue: Norton, hlm. 159: 190.

Haugen, E.. 1966. Language Conflict and Language Planning: The Case of Modern Norwegian. Cambridge: Harvard University Press.

Haugen, E.. 1969. “Language Planning, Theory and Practice.” Dalam A. Graur (ed.). Actes due Xe Congres International des Linguistic Bucharest. Bucharest: Editions de L’Academic de La Republique de Roumanic, 701 – 711.

Neustuphy, J.V. 1974. Basic Types of Treatment of Language Problems.” Dalam J.A. Fishman. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton.

Noss, R. 1967. Language Policy and Higher Education, Vol III, Part 2 of Higher Education and Development in Southeast Asia. Paris: UNESCO and Internatioan Association of Universities.

Ray, P.S. 1966. “Language Standardization.” Dalam J.A. Fishman, et.al. Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mourton.

Rubin, J & B. H. Jernudd. 1971. Can Language be Planned? Sociolinguistics Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu, Hawaii: East West Cantre Book.

Rubin, J & B.H. Jernudd. 1975. Can Language be Planned? Honolulu: University Press of Hawaii.

Rubin, J. 1971. “Evaluation and Langauge Planning.” Dalam J. Rubin & B.H. Jernudd. Can Language be Planned? Honolulu: University Press of Hawaii.

Rubin, J., et.al. Language Planning Processes. Hague: Mouton Publisher.

Sturtevant, E.H. 1917. Language Change. Chicago: University of Chicago Press.

Wardhaugh, R. 1989. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

World Almanac. 1991. Research and Information Service, NSTP, Kuala Lumpur.